SIFAT SHOLAT NABI# I’TIDAL
- SIFAT SHOLAT NABI:#1 – Sholat di atas mimbar dan sutrah
- SIFAT SHOLAT NABI # SHOLAT IBADAH YANG ISTIMEWA
- SIFAT SHOLAT NABI # MEMBACA AL FATIHAH
- SIFAT SHOLAT NABI # BACAAN AL FATIHAH
- SIFAT SHOLAT NABI# BACAAN SETELAH AL FATIHAH
- SIFAT SHOLAT NABI# I’TIDAL
- SIFAT SHOLAT NABI#BACAAN SETELAH ALFATIHAH (LANJUTAN)
- SIFAT SHOLAT NABI # NIAT
- SIFAT SHOLAT NABI#BACAAN SHALAT MALAM & SHALAT JUM’AT
- SIFAT SHOLAT NABI # BACAAN SHALAT FAJAR-DHUHUR-ASHAR-MAGHRIB
Diterbitkan pertama kali pada: 04-Jul-2020 @ 15:00
5 menit membacaSifat sholat Nabi, *I’tidal*
Ustadz Dr Musyaffa Ad Dariny
18 Dzulqaidah 1440 H
Semoga dengan kajian seperti ini shalat kita lebih baik secara lahir dan batin, lebih khusyu, sesuai dengan contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Selanjutnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam mengangkat punggung beliau (melakukan i’tidal) dari rukuk sambil mengucapkan,
سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Allah mendengar orang yang memuji-Nya.
HR Bukhari dan Muslim
Dan Beliau memerintahkan hal itu kepada orang yang tidak benar shalatnya.
I’tidal itu termasuk rukun shalat.
Beliau berdiri tegak sampai tulang menempati tempatnya masing-masing (natural).
Ketika sudah berdiri.. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membaca:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
“Wahai Rabb kami, hanya untukmulah segala pujian.” (HR. al-Bukhari no. 732 dan Muslim no. 866 dari Abu Hurairah).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan membaca kedua bacaan di atas baik bagi imam maupun makmum.
Itu pendapat Syaikh Al-Albani dan ulama Syafi’iyah.
Hadits berikut.
وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
“Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ‘, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji)’.” (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)
Dhahirnya, makmum tidak membaca sami’allahu liman hamidah.
Syaikh Al-Albani menjelaskan hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa makmum tidak ikut Imam membaca sami’allahu liman hamidah begitu pula tidak menunjukkan bahwa makmum mengikuti imam membaca robbana wa lakal hamdu.
Padahal hadits lain menjelaskan bahwa dijadikan imam untuk diikuti.
Karena hadits ini tidak didatangkan untuk menjelaskan bacaan Imam dan makmum ketika i’tidal namun makmum baca
robbana wa lakal hamdu setelah imam membaca sami’allahu liman hamidah.
Yang menguatkan pendapat ini adalah kenyataan bahwa dulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga membaca
robbana wa lakal hamdu dan juga perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mengikuti shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ini adalah khilaf yang muktabar.
Sedangkan di Haramain yang di praktikan adalah pendapat Hanabilah.
Barang siapa yang perkataan berbarengan dengan malaikat ketika itu, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.
Dalam i’tidal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengangkat tangan seperti ketika takbiratul ikram. (ada 2 macam)
Ucapan robbana wa lakal hamdu, bisa dipilih dari empat bacaan:
a- Allahumma robbanaa lakal hamdu. (HR. Muslim no. 404)
b- Allahumma robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 795)
c- Robbanaa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 477)
d- Robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411).
Doa lain adalah
Rasulullah menambahkan di belakangnya dengan:
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Mil-as-samaawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du.
Sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya.
HR. Muslim no. 1067 dari hadits Abdullah ibnu Abi Aufa.
Terkadang dengan tambahan :
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Mil-as-samaawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du, ahlats-tsanaa-i wal majdi, laa maani’a limaa a’thoita, wa laa mu’thiya limaa mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jadd.
Sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya. Engkau adalah Dzat yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan. Tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan. Tidak bermanfaat bagi-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan.
HR. Muslim, Nasai dan Ibn Hibban.
Terkadang dengan tambahan..
السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Mil-as-samaawaati wa mil-al ardhi wa maa bainahumaa, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du, ahlats-tsanaa-i wal majdi, laa maani’a limaa a’thoita, wa laa mu’thiya limaa mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jadd.
Sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya. Engkau adalah Dzat yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan. Tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan. Tidak bermanfaat bagi-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan.
HR. Muslim no. 1072 dari Ibnu Abbas.
Sekali waktu dalam shalat malam, Rasulullah mengucapkan:
لِرَبِّيَ الْحَمْدُ، لِرَبِّيَ الْحَمْدُ
Li robbiyal hamdu, li robbiyal hamdu.
Hanya untuk Rabb-ku segala puji, hanya untuk Rabb-ku segala puji.
HR. Abu Dawud no. 874 dan yang lainnya dari hadits Hudzaifah, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan al-Irwa’ no. 335.
Beliau terus mengulang-ulangi ucapan ini, hingga lama berdirinya saat itu sama dengan lama ruku’nya, padahal lama ruku’ beliau mendekati lamanya beliau berdiri pada rakaat yang pertama, yang beliau membaca surat al-Baqarah.
Bacaan itidal lain adalah.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ، مُبَارَكًا عَلَيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى
*Robbanaa wa lakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiihi, mubaarokan ‘alaihi kamaa yuhibbu robbunaa wa yardhoo.*
Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji. Pujian yang banyak, yang baik, yang diberkahi di dalamnya, yang diberkahi di atasnya, sebagaimana Rabb kami senang dan ridha.
HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
Bacaan ini ada keutamaan..
Ada sahabat yang membaca ini ketika i’tidal. Selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa i’tidal tersebut?” Salah seorang sahabat mengaku. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya melihat ada 30 lebih malaikat yang berebut mengambil bacaan ini. Siapa di antara mereka yang paling cepat mencatatnya.”
*Memanjangkan rukun i’tidal*
Ini hukumnya sunnah.
Dalam hanabilah, kalau i’tidal yang lama akan memutuskan shalat.
Sehingga sering dijumpai orang yang i’tidal sangat cepat karena bagi mereka tujuannya untuk membedakan rukuk dan sujud. (kita jumpai pada jamaah dari Turki)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah i’tidal sangat lama sampai para sahabat mengira Beliau lupa.
Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda:
إن الله لا ينظرُ يوم القيامة إلى مَن لا يقيم صُلبَه بين ركوعه وسجودِه
“Sesungguhnya di hari kiamat Allah tidak akan memandang orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di antara rukuk dan sujud” (HR. Tirmidzi no. 2678, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 3624, Ath Thabrani dalam Al Ausath no.5991.
Sunnah nya tangan dijulurkan.
Pendapat Syaikh Utsaimin lebih memilih untuk sedekap. (posisi masing-masing sebelum ruku itu sedekap)
Syaikh Al Albani memahami posisi natural adalah posisi yang dijulurkan.
Pendapat Syaikh Al Albani dikuatkan dengan tidak adanya riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.
Padahal riwayat sebelum ruku sangat banyak.
Khilaf itu hanyalah khilaf yang lebih afdhal, bukan boleh atau tidak boleh.
$$##-aa-##$$